Langsung ke konten utama

Kamu Tidak Normal


“Kamu Tidak Normal”
Dwiza Rizqy

Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau aku mencetak gol? Ya, berawal dari penjaga gawangnya, sebelum pencetak gol bersorak selebrasi, dia terlebih dahulu bersorak. Semua berjalan mengalir begitu saja dengan kekuatan pendengaran kami.
“Andi!” seruan pak guru memecahkan lamunanku.
“Iya, Pak Hasan?” aku segera menghapiri suaranya.
“Ini bapak membawa teman baru untuk kamu dan teman-temanmu. Namanya, Mata Nurulinsyah. Kamu antar ke teman-teman kamu, ya. Kalian harus berteman baik. Nanti dia akan menjadi teman baik kalian untuk persiapan pertandingan futsal selanjutnya,” jelas pak Hasan. Sebuah telapak tangan baru menggenggam tanganku untuk bersalaman.
“Hai, salam kenal, ya,” katanya sangat ramah.
Aku menggandengnya ke arah suara teman-temanku. Kubuka omongan kepadanya, “Kakak saudaranya Pak Hasan?”
“Iya, keponakan. Aku juga seumuran sama kamu, kok. Aku sudah biasa diajak Pak Hasan untuk menjadi pendampingnya di pertandingan-pertandingan futsal yang besar. Aku biasa duduk di sampingnya untuk memberi tahu jika ada yang bermain curang,” ceritanya sambil berjalan denganku.
“Waaah, bagaimana bisa?”
“Kamu baru tahu, ya? Orang sepertiku memang jarang-jarang ada di dunia ini. Aku bisa melihat dunia ini dengan berbagai hal yang aneh. Ohya, aku juga pernah melihatmu dengan diam-diam menaruh surat cinta di kolong meja perempuan. Waktu itu aku sedang ikut Pak Hasan berkeliling sekolahmu hehe. Benar, kan, itu surat cinta?”
Orang ini aneh, pikirku. Aku melepaskan gandenganku dari lengannya. Aku tak bergidik, merasa seram.
“Hei, maaf, ya, bukan maksudku untuk membuatmu malu. Andi, teman-temanmu ada di sebelah kanan kita. Kamu jangan ke kiri!” serunya.
“Iya... aku tahu. Aku bisa mendengar gerak-gerik mereka, kok!”
“Kok kamu terlihat kesal, sih?” tanyanya
“Kamu tuh yang ngeselin! Aneh! Bagaimana kamu bisa melihat itu? Kan kita semua cuma bisa melihat hitam. Ya, kata guru-guru, orang tua, dan teman-teman, yang kita lihat ini hitam. Fungsi mata kita hanya untuk melihat hitam. Kita tahu semua informasi di dunia ini ya hanya dengan suara. Kamu jangan cerita yang aneh-aneh, deh. Kamu gak normal!” ups, barusan aku melempar kata-kata kasar padanya. Astaghfirullah.
Aku tak mendengarnya berbicara lagi. Mungkin dia tersinggung. Duh, maafkan aku. Dalam hitungan sepuluh, tiba-tiba dia kembali cerewet, kali ini bukan padaku cerewetnya, “Pak Hasaaan, jadi dari tadi nguping, ya? Jangan nguping doong! Ini urusan anak muda!” seketika Pak Hasan menggelak tawa.
Beuh, jangan-jangan rahasiaku memberi surat cinta ke Wirda ketahuan beliau. Malu. Aku langsung saja berjalan ke arah suara teman-temanku. Mereka sedang asik ngobrol tentang primadona kelas rupanya. ‘Yeuh, lu pada ngomong ape, Ntong? Wirda cuma buat gue ajaaa!!!’ teriak hatiku. Untung mereka tidak mendengar cerita dari Mata tadi tentang surat cinta itu. Hufh. Hei, mereka ini lebih dari teman-teman seperjuanganku di SMA, loh. Kali pertama kenal di lomba debat saat SMP, ternyata masuk ke SMA unggulan yang sama juga. Mereka ini teman makan, teman curhat, teman lomba, teman belajar, juga teman saingan merebut primadona kelas, pasti aku yang menang karena akulah leader mereka haha. Sombongnya diri ini.
“Bro, ada yang mau kenalan, tuh, di sana. Namanya Mata Nurulinsyah,” kataku memotong obrolan mereka.
“Wah, namanya bagus. Mata yang bercahaya, artinya,” jawab Rudi. Apa orang tuanya menamakan itu karena dia bisa melihat selain hitam? Bisa jadi.
 Aku segera memanggil Mata, ternyata dia masih menaggapiku dengan ramah. Dia sama sekali tidak merasa sakit hati dengan perkataan buruk dariku. Kepribadian yang baik, patut jadi teladan. Hanya saja, dia cerewet.
“Hai, semuaa. Salam kenal, ya. Aku Mata,” katanya riang, “Ih kamu ngapain gigitin rumput? Haha,” katanya spontan kepada temanku yang memang senang banget gigitin rumput, hufh, “Hei, kalian kok cuma bertiga sih? Katanya mau latihan main futsal? Eh tapi gapapa deh, kita kan hari ini cuma mau main dan kenalan aja kan, ya. Ohya, Andi, kamu suka es gak? Itu ada tukang es podeng di sana, beli gih, pakai uangku gapapa. Es podeng itu enak tau, selain kelihatannya menarik karena warna-warni, aku suka,” kan, dia banyak bicara, padahal tidak ada yang bertanya tentang ini-itu.
“Salam kenal, Mata. He,” sambut Rudi, terdengar risih menjawabnya.
“Salam kenal juga, ya. Namaku Roni,” temanku—yang hobi gigitin ujung rumput—ikut menjawab.
Mata memberiku uang. Kuraba. Ini berjumlah Rp100.000. Wow, tajir juga dia.
“Beli lima gelas, ya,” katanya. Ingin kuberkata, ‘Kenapa gak kamu aja yang beli ke sana? Gak sopan nyuruh-nyuruh!’ tapi dia sudah baik mau belikan cuma-cuma huhu. Kuturunkan, deh, emosiku.
Aku menghampiri tukang es podeng yang mengentung-ngentungi gong kecil. Sesuai pesanannya, aku membeli lima gelas. Sambil terus membatin, seperti apa dia sebenarnya. Mata Nurulinsyah? Mata yang bercahaya? Aku mengerti cahaya itu yang sering menerangi mata ini. Kadang aku melihat gelap yang sangat pekat ketika malam, dan warna-warna lain ketika menghadap matahari. Ini yang disebut cahaya. Ya...tapi teman-temanku yang lain ada yang mengatakan, sama sekali tidak mengerti apa itu cahaya. Namun, dalam pelajaran di kelas, kami sepakat bahwa cahaya adalah seuatu yang terang. Dalam kecepatan, cahaya juga kecepatan yang sangat cepat dibanding kecepatan-kecepatan lainnya. Hmm, apa benar itu makna namanya Mata Nurulinsyah? Tersebab ia berbeda dengan kebanyakan manusia? Iya, berbeda. Fungsi matanya tidak hanya bisa melihat gelap saja. Ia bisa tahu dengan benar aku mengendap-endap menaruh surat cinta di kolong meja Wirda. Bagaimana bisa? Dia, kan, gak menabrakku waktu itu. Dia juga bisa tahu ada es podeng di sini padahal tadi pedagangnya belum memukul gong kecil ini. Ih, dia itu kenapa, sih? Benar-benar gak normal. Baru kutemui orang seperti dia.
Lalu sebenarnya di dunia ini ada apa? Seramnyaaa kalau dia bisa melihat segalanya. Kalau aku jadi dia, sepertinya aku akan mudah menyontek saat ujian sekolah. Eh, niat buruk hehe. Gak, gak. Kalau aku jadi dia, aku pasti bisa lebih mudah lagi bersaing dengan teman-teman untuk mendapatkan cinta Wirda. Ohya, aku juga bisa tahu seperti apa Wirda itu. Hmm, perspektif cantik menurut Mata itu seperti apa, ya? Menurutku, kan, karena suara Wirda itu merdu. Aku juga pernah tak sengaja menyentuh punggung telapak tangannya saat ingin menyentuh mejanya. Halus seperti kulit bayi hehe. Iya, iya, bukan mahram, kan gak sengaja.
Hmm, kalau aku seperti Mata, mungkin aku bisa tahu segalanya tentang Wirda tanpa harus mendekatinya dahulu. Aku bisa tahu sebenarnya Wirda suka sama siapa tanpa harus mendengar ceritanya terlebih dahulu. Ya, meskipun kurang tepat, tapi setidaknya aku bisa tahu gerak-geriknya suka sama siapa. Ett, tapi bisa jadi dengan begitu aku jadi usil ke cowok yang disukai Wirda (kalau ternyata bukan aku yang dia suka). Lebih baik tidak tahu, daripada menambah dosa. Pun sakit hati kalau tahu cinta bertepuk sebelah tangan dengan mudahnya. Hufh, iya, kuakui aku lelaki cengeng, mudah luluh dan labil. Tak suka padaku? Tak perlu jadi temanku.
Es podeng sudah di kantung. Aku membawanya dengan kerepotan, jariku penuh membawa es-es ini. Kalau tidak gratis, aku malas membawanya. Aku mendekati posisi tadi, mereka masih asik ngobrol, rupanya. Mata sudah cerita apa saja, ya? Hmm, baiklah, sejujurnya aku penasaran dengan dirinya, meskipun aku gengsi mengakuinya. Bisa-bisanya dia memasuki dunia teman-temanku, padahal hanya aku yang selalu menjadi leader. Oke, aku harus merendahkan hati lagi, tidak boleh sombong. Kuakui ketidaknormalan dia membawa suatu hal baru untuk kami.
“Es podeng sudah datang!” seruku
“Wooooow. Azeeeek!” seru semua, tak terkecuali Pak Hasan.
Ini memang hari libur yang menyenangkan. Kami terbiasa menghabiskan minggu pagi dengan berolahraga di lapangan dekat sekolah bersama pelatih futsal kesayangan kami ini, Pak Hasan. Ia menerima es podeng beserta meminta kembaliannya, lalu suara resleting tasnya menandakan ia menaruh uang itu ke dalam tasnya. Halah, kukira itu uang Mata, ternyata uang pamannya. Pantas saja uangnya banyak hehe.
“Sini, Andi duduk,” Mata menepuk-nepuk tanah, tanda mempersilakanku duduk.
“Kamu banyak ketinggalan, Ndi! Dari tadi kita ngobrol seru banget, loh! Mata orangnya unik, ya. Awalnya kita gak percaya, tapi ternyata bener, loh. Aku tadi angkat dua jari, lalu dia bisa menebaknya tanpa meraba jariku. Kuangkat tiga jari pun dia bisa menebaknya lagi. Aku heran,” jelas Roni. Aku makin bingung dibuatnya.
Apa benar? Ah, mungkin dia hanya seperti pendekar dari gua hantu mungkin, ya? Yang kepekaan telinganya sangat peka. Tapi mengapa dia mengakunya tahu semua itu dari fungsi matanya? Ih, gak normal!
“Hehe, iya, Ndi. Maaf, ya, semua, kalau aku membuat kalian bingung. Orang sepertiku memang jarang ditemukan. Keseharianku bermain, ya, bersama orang-orang seperti kalian juga. Terkadang aku merasa sendirian karena berbeda sendiri. Aku melihat hal-hal aneh, tetapi tidak ada yang percaya denganku, termasuk mamaku sendiri. Ia menaggapku aneh, mama masih belum terima memiliki anak sepertiku. Kalau bapakku pasrah dan diam, meskipun sepertinya beliau juga merasa aneh denganku. Cuma Pak Hasan aja yang mau support tumbuh kembangku dan megarahkanku untuk mengoptimalkan hal-hal yang kubisa dengan baik dan untuk kegiatan-kegiatan yang baik.
Hidup ini berwarna-warni, teman. Seperti es podeng ini. Teman-teman komunitasku yang bisa melihat juga, menyebutnya berwarna-warni. Ada warna merah, hijau, hitam, putih. Aku melihat warna-warna itu di dalam gelas ini. Seperti hidup ini, selalu ada masalah ataupun kejutan bahagia. Semua ada porsinya sehingga rasanya enak. Hidup ini enak kalau kita menikmatinya dengan porsi yang cukup. Meskipun banyak yang mem-bully, banyak yang menjauhi, tapi ternyata di tempat lain ada juga yang kagum, ada yang menemani, ada yang mau saling membantu. Indah, bukan, jika kita mau mensyukuri semuanya?” jelasnya runut, membuatku terperangah.
Aku langsung menyambar, “Ya ampun, maaf ya, Ta. Tadi aku bilang kamu gak normal. Karena yang kami tau, memang normalnya kita hanya bisa melihat gelap terang aja. Maaf banget, ya, kalau itu membuat kamu sakit hati. Gak ada maksud...”
“Sst, sudah, tidak apa. Aku sudah biasa, kok, hehe. Pernah dibilang orang gila juga, kok, karena sering cerita hal-hal yang membuat orang sekitar kebingungan. Jadi aku sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya, kok. Berarti, aku diterima, nih, jadi teman kalian?” tanyanya.
Aku dan teman-teman langsung memeluknya haru. Siapa yang tidak mau berteman dengan orang berhati berlian sepertinya? Pak Hasan yang hanya diam sedari tadi pun ikut menepuk-nepuk pundak Mata. Ya, hidup ini beragam rasanya. Berwarna-warni kalau katamu. Semoga dengan berwarninya hidup ini membuat kita semakin lapang lagi menerima berbagai hikmah yang ada. Tak ada yang sia-sia dari segalanya, termasuk hal terburuk dalam hidup sekalipun.
Mata Nurulinsyah memang bukanlah orang kebanyakan yang ada di dunia ini, sehingga disebut tidak normal. Namun, bukan berarti itu menjadi cemoohan yang harus dilontarkan padanya. Kita harus bisa saling menerima keunikan masing-masing. Ia dengan warna-warni, dan manusia kebanyakan—termasuk aku—dengan gulita.

(Sebuah cerpen dengan pemutarbalikkan realita)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stop Lazy Time!

Sumpah! Aku bingung mau nulis apa. Nah, itu dia kendalaku. Sering bimbang untuk melakukan sesuatu. Jujur! Aku nulis ini dengan sepenuh hati. Aku tidak sedang memakai topeng untuk menutupi kekurangan ini. Suer! Di tahun yang lalu, aku masih menjadi pelanggan topeng kemunafikkan. Dahulu, orang luar sering memandang potret diri ini dengan berbagai kesan positif. Oh, terima kasih, teman. Tapi, aku cukup waspada bila mereka masuk ke rumahku. Dan akhirnya, terlihatlah belang sifatku. Yang sering membuat seisi rumah jengkel padaku lah, kesal lah, murka lah, dan lah-lah yang lain. Ya, aku pasti menyesal. Batinku pun marah pada diri sendiri. Aku selalu dibuntuti rasa malas, dan ditarik oleh sang ego. Bodohnya, aku mau saja mengikuti ego itu. Selalu melakukan sesuatu 'semau gue', bermimpi sampai lupa waktu, dan perilaku malas lainnya. Uh, malu rasanya diri ini. Hei, tapi aku tidak bermaksud membuka-buka aib, loh. Hanya saja, ceritaku ini bermaksud sebagai intropeksi diriku. Ma...

LRS

(Selasa/22,05,2012) Inilah anggota LRS Bogor Timur dalam satu sekolah. Pada saat itu kami sedang berada di perpustakaan sekolah kami, tepatnya di SMAM Cileungsi. Di sana kami berniat berbagi buku-buku untuk teman-teman yang lain. Apa lagi buku-buku LRS ini kan bagus-bagus tuh , jadi nggak ada salahnya untuk berbagi bacaan ke orang lain. Nah, sebelum beranjak ke kelas masing-masing, kami bergaya dulu, ya... hehe. Tuh lihat, dari sebelah kanan sudah ada Lala, Hartanto, Mbak penjaga perpustakaan, Eeng, dan Rizki. Tapi, ini bukan anggota keseluruhan. Masih ada anggota lain yang berbeda sekolah dengan kami. Yupz, cukup sekian dulu, deh. intinya, kami senang sekali bisa berkumpul di taman membaca, dan dapat berbagi kepada semua. Barokallohufiikum.... ^_^

Cerpen "Sadarlah Sahabatku" Oleh Rizki Dwi Utami

"Aku memang bodoh! Aku sadar itu! Sehingga tidak ada yang mau berteman denganku! Aku tahu kalian semua benci kan sama aku?", suara lantang itu menggebar-geborkan suasana kelas yang awalnya tentram, sejuk dan damai. Kini kondisi berubah menjadi panas, bising dan menggebrakkan detak jantungku. Suasana yang tak diinginkan itu berawal saat syaiton mengusih hati kedua sahabatku untuk saling mempercepat getaran pita suara mereka. Tak kuasa telingaku mendengar pertengkaran itu. Aku pun tak kuat untuk bergeming. "Usro! Seharusnya kamu bisa introfeksi diri! Bukan malah membentak-bentak seperti itu! Kalau itu pendapatmu, itu salah, Sro! Kamu itu nggak sebodoh dengan apa yang kamu kira. Jadi, bukan itu yang menyebabkan kita semua menjauhi kamu. Tolong ya, Sro, pikir baik-baik lagi untuk introfeksi diri kamu! Oke!", akhirnya aku campur tangan menghadapi ulahnya. "Sudahlah, Iyan. Percuma ngomong sama Uso. Dia kan bisanya cuma nangis! Tuh lihat saja matanya sampai ...