Langsung ke konten utama

Cerpen "Sadarlah Sahabatku" Oleh Rizki Dwi Utami


"Aku memang bodoh! Aku sadar itu! Sehingga tidak ada yang mau berteman denganku! Aku tahu kalian semua benci kan sama aku?", suara lantang itu menggebar-geborkan suasana kelas yang awalnya tentram, sejuk dan damai.

Kini kondisi berubah menjadi panas, bising dan menggebrakkan detak jantungku. Suasana yang tak diinginkan itu berawal saat syaiton mengusih hati kedua sahabatku untuk saling mempercepat getaran pita suara mereka. Tak kuasa telingaku mendengar pertengkaran itu. Aku pun tak kuat untuk bergeming.

"Usro! Seharusnya kamu bisa introfeksi diri! Bukan malah membentak-bentak seperti itu! Kalau itu pendapatmu, itu salah, Sro! Kamu itu nggak sebodoh dengan apa yang kamu kira. Jadi, bukan itu yang menyebabkan kita semua menjauhi kamu. Tolong ya, Sro, pikir baik-baik lagi untuk introfeksi diri kamu! Oke!", akhirnya aku campur tangan menghadapi ulahnya.

"Sudahlah, Iyan. Percuma ngomong sama Uso. Dia kan bisanya cuma nangis! Tuh lihat saja matanya sampai sembab seperti itu. Haha. Sungguh memalukan! Seorang lelaki, tapi gampang menangis! Dasar cengeng!", ledek si Daus, sahabatku yang sedang membenci Usro.

"Hus! Daus! Kamu nggak boleh gitu juga dong!", sambarku pada Daus yang tambah merusak suasana.

"Terus? Kamu pikir, aku peduli gitu? Nggak segampang itu!", Daus membalas bentakkanku.

Begitulah, mereka memang sama-sama keras kepala. Aku nggak tahan punya sahabat yang saling bermusuhan. Ku akui memang Usro adalah orang yang menyebalkan, selalu usil, namun selalu cengeng pula bila dibentak sedikit.

Ku akui, aku juga sangat sebal dengannya. Tapi, aku juga kasihan. Semenjak kejadian itu, Usro jadi sangat berubah jadi pendiam. Awalnya aku senang dengan perubahannya. Namun ternyata itu tak seperti yang ku kira. Dia tidak berubah menjadi yang lebih baik lagi. Malah dia jadi terlihat sangat apatis.

Mengapa Daus sangat membencinya? Mengapa orang lain tak ingin mendekatinya?
Yach, selain memang dia usil, dia juga sangat gemaq merebut kekasih orang. Untunglah, aku tak memiliki wanita spesial. Dan kini, Dauslah korbannya. Wanita terkasihnya yang bernama Cindy itu telah dirampas oleh Usro. Sungguh, betapa hancurnya hati Daus saat mengetahui, bahwa ternyata Cindy lebih memilih Usro yang notabene keturunan ningrat dan berwajah lebih tampan dari pada Daus.

Entah sampai kapan Usro melakukan aksi jahatnya yang setega ini kepada sahabatnya sendiri. Bahkan dia pernah bercerita padaku, kalau ternyata dia melakukan itu hanya untuk memancingkan emosi Daus saja, atau hanya sekedar bercanda. Sungguh tega dirimu, Usro! Hal yang seserius itu kamu bilang bercanda? Syaiton apa yang telah merampas nuranimu? Sehingga kau campakkan hati para sahabat di ruang nelangsa sana.

"Tenang, Daus. Cindy akan ku jaga baik-baik. Kalau kamu masih keberatan dengan pilihan Cindy ini, aku akan mengembalikan Cindy kepadamu. Tentunya setelah aku puas berkasih-kasih dengannya!", itulah ucapan Usro yang sangat tengil pada Daus. Tak sengaja aku mendengar percakapan itu sebelum pertengkaran adu mulut itu terjadi.

Sungguh lucu kelihatannya. Bila para lelaki berperang adu mulut dan diakhiri dengan tangisan. Sontak, aku ingin tertawa melihatnya. Namun aku pun merasa kasihan juga. Entah apa yang harus kulakukan untuk mempersatukan kembali persahcatan kami - aku, Daus dan Usro.

Kami bertiga sahabat sejati, yang berikrar takkan putus sampai mati. Tapi apa? Apakah kalian benar-benar mampu? Mengapa hanya masalah wanita, menjadikan kalian terpecah belah? Sungguh munafik! Batin burukku tak terbendung lagi pada kedua sahabatku itu.

"Iyan, maafkan aku ya. Waktu itu aku telah membuatmu kesal. Seminggu yang lalu aku marah-marah seperti itu karena Daus yang tak mau mencontekkan tugas matematikanya. Sedangkan yang lain diperbolehkan. Aku jadi kesal!", betapa terkejutnya aku, mendengar ucapannya. Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak. Namun, ku tahan saja tawaku dalam hati.
"Usro, jadi sekarang kamu sudah introfeksi diri belum? Apa yang membuat Daus berlaku seperti itu? Harusnya kamu paham perasaan orang lain! Jangan pikir perasaan dirimu sendiri! Apa kamu masih nggak sadar betapa hancurnya hati Daus saat kau berhasil merampas Cindy? Pikirkan itu baik-baik! Oke!", kataku halus namun tajam.

"Halah! Hari gini masih memikirkan Cindy? Huh! Aku juga sudah bosan dengan nya! Kalau si Daus mau ambil dia lagi, ya silahkan saja." jawabannya begitu memancing amarahku. Meskipun bukan aku yang dijadikan korban, aku juga merasakan betapa bejatnya Usro mempermainkan perasaan Daus, dan menghancurkan persahabatan ini.

Bermekaranlah kembang api di dada ini. Ingin rasanya ku tumpahkan segala bentuk api yang membara untuknya.

"You are stupid! You know?" amarahku memuncak. Darah telah sampai di ujung tanduk. Ku luapkan saja kalimat kebencianku yang membara.

Secara singkat, padat, dan jelas, aku tinggalkan tempat pertemuanku dan Usro itu.

Begitu cepat aku pergi ke kelasku. Duduklah aku di kursi kayu yang berada di sudut kelas. Ku renungkan segala kejadian yang ada. Aku pun mengetahui aura api Usro yang meningkat lantaran ku hina tadi. Namun, ku tak peduli! Biarlah ia merasakan betapa pedihnya hati ini.

Aku sangat sayang kepada Daus dan Usro. Aku tak mau keduanya bermusuhan. Dan aku tak mau keduanya memiliki hati yang bejat. Maka dari itu, sangat pedih hati ini melihat konflik yang terjadi pada mereka.

Niat hati ingin merubah pemahaman Usro. Tapi, malah diriku yang terjatuh di jurang emosi tingkat tinggi.

Dahulu, aku, Daus, dan Usro telah berjanji tidak akan saling bermusuhan. Tapi sekarang? Mungkin hanya janji palsu.

Bimbang diriku ini. Mengapa hanya masalah wanita bisa menghancurkan persahabatan ini? Sahabatku, sungguh hina pernyataan ini.
Itulah yang membuatku tak ingin pacaran. Karena aku tak ingin punya banyak masalah. Bukan berarti aku tidak normal juga. Tapi, aku lebih memilih untuk bersabar. Lagi pula, agamaku melarang pacaran, karena bisa menimbulkan fitnah. Dan salah besar bila orang bilang - pacarannya itu didasari cinta suci. Yang benar itu - pacaran pasti didasari oleh nafsu semata. Aku tak mau memperlakukan wanita yang ku cinta seperti demikian. Apa lagi sampai seperti tingkah Usro, yang telah dicap sebagai playboy. Oh. Tidak akan!

"Iyan! Ada kabar buruk!" teriak Daus membuyarkan lamunanku.
"Apa?" aku pun kaget.
"Usro..."
"Kenapa si Usro?" pertanyaanku memotong pembicaraan Daus, karena saking paniknya.
"Usro, itu, dia, itu..." masih dengan gugupnya.
"Apa? Cepat katakan!"
"Usro... Ah, aku tak sanggup mengatakannya. Ayo, ikuti saja aku!" Daus pun menarik lenganku.

Dibawalah aku ke toilet sekolah.

Oh, Ya Allah. Ku dapati Usro di sana sedang menggenggam cutter dan mengarahkannya ke lengan kirinya yang terdapat urat nadi di dalamnya.

Aku dan Daus kaget. Tak tahan melihatnya. Kami dekati ia saja secara perlahan.

"Untuk apa kalian kesini? Bukankah kalian sudah benci padaku?" ups, ternyata Usro telah mengetahui keberadaanku dan Daus di belakangnya.

"Usro, kita nggak benci sama kamu, kok. Siapa yang bilang begitu? Biar bagaimanapun juga, kamu tetap sahabat kita. Tolong, jangan bunuh diri. Kita nggak mau kehilangan kamu, Usro." ucapku sambil semakin mendekatinya.

"Iya, Usro. Aku juga nggak benci kok sama kamu. Kalau memang Cindy lebih memilih kamu, ya sudah tak apa. Karena aku mengerti, cinta itu tak harus memiliki. Bila dia bahagia bersamamu, aku juga turut bahagia. Maaf ya, bila kejadian seminggu yang lalu itu telah menyakiti hatimu." ucap Daus lirih, dan ia ikuti jua langkahku.

"Stop! Tidak usah mendekatiku!" ucapnya dengan lantang, dan tatapan tajamnya menyoroti bayanganku di cermin yang ia pandangi sedari tadi.

"Usro, aku mohon. Kamu jangan bunuh diri." rayuku lagi.
"Siapa yang mau bunuh diri sih? Iniloh, aku sedang memotong benang yang kelebihan di lengan baju ku yang panjang ini." jawab Usro, dan ia berbalik badan menghadapku dengan senyum manisnya.

Aku dan Daus pun kaget melihat ulahnya. Bahkat mulut kami terlihat setengah menganga. Darahku terasa menaik lantaran kekhawatiranku yang tiada guna. Namun, aku tak ingin memarahi Usro yang menjengkelkan itu. Perasaanku pun campur aduk, antara kaget, terharu, kesal, senang. Entah, ku tak mampu mendefinisakannya.

"Hah? Ya ampun, Usro! Aku kira... Ah, kamu buat kita khawatir saja, sih! Ternyata yang namanya Usro Bin Sukro memang tidak bisa berubah, tetap saja menjadi pribadi yang menjengkelkan! Tapi, aku tetap susah rasanya untuk kehilangan seorang Usro. Karena, kamu sahabatku. Aku nggak mau tali persahabatan kita putus hanya karena wanita." kata Daus dengan nada lembut pada Usro. Sangat senang aku mendengarnya.

"Hehe, iya. Maaf ya, Daus. Aku sudah jahat sama kamu. Aku sadar pasti kamu sakit hati banget. Aku sudah merasakan karmanya. Ternyata si Cindy sudah punya pacar baru yang punya mobil bribadi, yang sangat mewah. Dan sekarang aku sudah merasakanapa yang pernah kamu rasa. Sakit banget hati ini. Maaf ya, sob. Aku janji nggak akan mengulangnya lagi." Usro menyesal dan segera memeluk Daus.

Oh indahnya, bila semua telah bersatu kembali. Lega hatiku. Rasanya, berbagai bunga telah bermekaran di hati ini. Inilah salah satu kisah unikku dan kedua sahabatku yang tak pernah ku lupa. Kini kami selalu ceria melangkah ke masa depan bersama. Dan kini Daus dan Usro mengikuti jejakku yang tak ingin pacaran. Kini kami mencoba lebih fokus sebai pelajar SMA yang harus berprestasi.

THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu