Langsung ke konten utama

Sebuah Ujian yang Rahasia

Entah sejak kapan hatiku terpaut padanya, seseorang yang begitu lembut bicaranya, namun juga kadang suka bandel, sih.  Gemas, pikirku. Istighfar berulang kali, tapi bagaimana? Aku tak bisa menghilangkan pikiran ini begitu saja. Memang begini lah kalau VMJ (Virus Merah Jambu) sudah menyerang, repot. Seperti lagu Maya Estianti, "Aku mau makan, kuingat kamu. Aku mau tidur juga kuingat kamu..." Halah! Menyebalkan! Apa lagi jika ditambah senyum-senyum sendiri. Halah!

Aku harus apa? Jika dikatakan cinta adalah ujian? Ya. Cinta adalah perlawanan? Ya. Jika itu adalah pada yang bukan mahramnya. Ya, menguji iman kita apakah tetap murni miliki niat segalanya hanya pada Allah atau tidak. Ya, membuat kita melawan batin ini agar tidak mengeluarkan kode-kode halus ataupun keras, jika memang belum siap melangsungkan akad.

Terlebih lagi lagu Akad-Payung Teduh yang sering kali diputar remaja masa kini, terbayang dialah yang menyanyikan untukku. Muncul pertanyaan, apakah dia mau denganku, apakah perasaanku akan bertahan sampai lulus kuliah? Ohya, dia kan ada rencana akan S2, apa aku nanti tidak keburu diambil orang? Atau jangan-jangan nanti dia sama yang lebih muda lagi. Yah, kecewa. Eh... Halah halah halah!!! Pikiran yang menyebalkan!

Perasaan yang sepertinya baru-baru saja kumiliki, baru-baru saja kudasari. Baru kusadari ternyata sudah lama, loh, aku merasa kagum dengannya. Sudah lama, loh, aku merasa dia begitu baik. Ah, tapi dia memang orang yang baik pada semua orang, bukan hanya denganku saja. Jangan GR deh, wahai diri! Haha! Duh, bala! Repot, kan?!

Bagaimana bisa aku melupakannya, jika setiap hari saja bertemu. Satu organisasi, meskipun dalam departemen yang berbeda. Pacaran, sih, tidak. Teman tapi mesra pun gak sama sekali. Brother zone? Gak lah, ya. Friend zone? Hmm, yaa kami memang berteman. Salah? Tidak, kan? Lagi pula bukan statusnya yang dipermasalahkan, tetapi perasaan ini. Allah, ampuni aku.

Aku berpikir, bagaimana jadinya jika delapan semester menelan pil pahit-manis macam ini. Kuatkah? Kuatkah aku menanggung dosa dari mata ini ketika melihat senyum manisnya? Belum lagi dari telinga saat mendengar suara lembutnya. Belum lagi dari hati yang kerap terbawa perasaan dengan chatt yang sekadar "iyaa", "oke", "sip". Hanya itu padahal.

Fitrah, katanya. Miliki perasaan pada lawan jenis. Dari pada dengan sesama jenis? Hii menakutkan. Namun bukan itu poinnya. Poin masalahnya adalah telah miliki harapan pada selain Allah. Aku takut menduakan-Nya.

Ini artinya, Allah mau aku meningkatkan lagi keimanannku pada-Nya. Mendekatkan diri lagi pada-Nya lewat ibadah-ibadah, lewat tartilnya bermanja-manja dengan Alquran, lewat khusuknya takbiratul ikhram di sepertiga malam, lewat basahnya bibir dengan dzikir dan sholawat, dan banyak lagi. Ah iya, jangan mau kalah sama dia yang lagi semangat memperbaiki diri. Oh iya, tapi lagi-lagi niatku harus hanya karena Allah, bukan yang lain. Ya, ini ujian dari-Nya, bisakah aku memurnikan niat pada-Nya? Hanya hatiku yang tahu.

Ujian lagi ketika ada adik tingkat yang dengan isengnya melemparkan ledekan "ciee ciee" pada kami, entah karena apa. Seketika tawa malu-malu kami mengudara begitu saja. Krik krik. Aduh!

Semoga Allah mengampuni perasaan ini. Aku hanya berharap pada Allah untuk menguatkan hati ini untuk menyederhanakan rasa, karena hanya Allah lah yang bisa membolak-balikkan perasaan hamba-Nya. Mungkin di luar sana juga banyak yang mengagumi kebaikannya, atau mungkin...ada juga yang mengagumiku? Hehe PD banget. Entahlah. Bukan urusanku saat ini. Biarlah semua menjadi rahasia-Nya dahulu, sebelum waktunya tiba.

Tapi... apa yakin akan tiba? Bagaimana jika kematian mendahuluinya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu