Langsung ke konten utama

Kesempurnaan Cinta

Kesempurnaan Cinta

Belum cinta jika belum berkorban. Belum cinta jika belum bangkit dari keputus-asaan.
Belum sempurna jika belum memaafkan. Belum sempurna jika belum mau kembali meski dikecewakan.
Bukan, ini bukan celebek alias CLBK (Cinta lama bersemi kembali) ke lawan jenis. Ini adalah tentang suatu tawaran manisnya iman, suatu amanah yang mengantarkan ke surga-Nya. Ah, sulit dijalankannya, lelah, berliku, rawan kemunafikan, sedikit orang yang mau, banyak yang enggan, termasuk aku yang sempat demikian. Namun hadiah surga Allah begitu menggiurkan. Yakni, menjadi murobbiyah.

Pasalnya aku merasa belum miliki akhlak yang baik, ilmu yang banyak, dan tak lihai mengajak orang. Misalnya, mengajak untuk hadir liqo. Baru tahap awal mengajak hadir saja sulitnya bukan main, bagaimana mengajak untuk menjadi muslimah yang sebenarnya?

Lantas galau melanda. Antara lanjut menghadang kekecewaan yang berlarut-larut atau menyerah dan diri ini tergantikan begitu saja. Dua pilihan yang...sama-sama kuinginkan dan tidak kuinginkan. Ambigu. Bias.

Pasalnya aku kerap merasa dikecewakan. Sering memaklumi perizinan yang seperti dibuat-buat. Mungkin begini juga perasaan para murobbi lainnya. Aku jadi kembali mengingat bagaimana aku dulu, yang seringkali alpa dari liqo karena futur melanda. Alasan demam padahal demam karena mengurung diri, demam yang dibuat-buat sendiri. Ah, betapa menyebalkannya juga aku dulu.

"Kak, kapan kita kumpul lagi?" pertanyaan beberapa adik ketika berpapasan dalam suatu acara. Aku mengulum senyum, mengatur jadwal dengan mereka dan kembali memaklumi negosiasi mereka. Mungkin saja aku yang belum berhasil menanamkan urgensi mentoring padanya. Atau mungkin memang iman yang belum kuat sehingga demikian. Selalu muhassabah berhari-hari.

Kata murobbiyahku, begitulah menjadi murobbi, pengorbanan. Berkorban waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi. Apalagi beliau, kesehatan menurun tak menjadi penghalang untuk hadir mengisi agenda halaqoh-halaqoh di kampus. Wah, jika dibandingkan memang jauh sekali. Ya, kuakui aku underastimed pada diri sendiri.

Namun, Allah ulurkan tangan lagi. Memberikan sejumlah ikhlas dan kesabaran. Itulah kesempurnaan cinta-Nya. Mungkin aku tak sempurna, cepat tersungut sehingga cepat mengambil kesimpulan dan keputusan. Namun Allah lah yang hadir menyempurnakan. Memberikan lagi kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Pekan lalu, adik-adik binaanku kembali melingkar dalam indahnya tarbiyah. Namun pada kalimat sebelum ini, aku cukup takut tidak bisa mencapainya, "binaanku", apa? Binaan? Yeah, semoga bisa membina, bukan membinasakan. Kupikir, semua murobbi juga pernah merasakan ketakutan yang sama. Namun, ya, seharusnya tak perlu menunggu sempurna terlebih dahulu untuk menjadi murobbi, meneruskan risalah Rasulullah SAW. Seperti halnya jika kelak memiliki anak, itu juga adalah amanah besar yang tak perlu menunggu kesiapan kesempurnaan akhlak, karena memang sebaik-baiknya akhlak adalah Rasulullah. Tak bisa kita menunggu demikian. Memiliki mutarobbi (binaan), atau murid, atau saudara, atau sahabat, atau anak, semua adalah amanah dan tanggung jawab besar yang seharusnya tidak kita hindari hanya karena merasa belum siap. Memang begitulah sabar, butuh ikhlas yang mendampingi, butuh ikhtiar dengan harapan penuh pada Pemilik kesempurnaan cinta. Selagi masih bernapas, hanya Dia yang mau menerima kita kembali berulang kali. Jika Dia saja mencintai kita sebegitunya, bagaimana dengan cinta kita pada-Nya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu