Langsung ke konten utama

Positive Booster

"Wagelazeeeeh, gue gak mood bangeeet. Butuh mood booster, tauuu!"
 
Hai, cinta. Pernah, kan, mendengar kalimat itu? Atau sendirinya yang pernah bilang begitu? Hayoo ngaku! Hehe. No problem, setiap kita pasti ada kalanya merasa lelah karena panggilan fisik yang butuh istirahat, atau panggilan pikiran yang butuh ketenangan, atau panggilan hati yang butuh perhatian. Kalau seperti itu, biasanya senang mencari-cari mood booster yang dengannya berharap bisa diberi motivasi. Cieee, ngarep banget! 😀
Padahal, kan, motivator terbaik kita adalah diri sendiri. 😁


Lalu, seperti apa, sih, mood booster yang kamu cari itu, ciiin? Harusnya, sih, mudah saja mencarinya. Toh, sebenarnya kita hanya butuh mengaktualisasikan diri dengan bersosialisasi. Hanya itu. Dengan adanya teman, akhirnya kita bisa kembalikan cerianya diri. Hanya saja kitanya yang mau menerima semua model teman atau tidak. 

Ketika sudah ada teman, teman seperti apa yang kau indahkan itu? Sebatas teman bersenang-senang dengan hal-hal duniawi saja atau juga sekaligus dalam pengingat kebaikan dan kesabaran? Silakan menjadi pemilih. Toh, itu hakmu. Pun ketika kita menjadi seseorang yang tidak terpilih menjadi sosok teman yang baik, berarti kita harus memperbaiki diri agak menjadi sosok yang terpilih itu. Jika sudah demikian, alangkah indahnya berteman dengan siapapun, karena semua menyadari diri untuk berusaha menjadi yang terpilih dan pintar memilih. 

Pilih-pilih di sini menjadi ajang berlomba-lomba dalam kebaikan. Ketika berteman dengan niatan berbagi kebaikan sudah pasti teman kita bukan lagi hanya sebagai mood booster tapi juga positive booster.  Yeay!

Pernah terpikir, gak, sih, ketika hal-hal positif pada diri kita terbengkalai, sedangkan gak ada lagi yang mengingatkan kita karena kitanya yang memilih menjauh? Aku, sih, pernah. Dalam keadaan asdfghjkll (gak jelas), pea and the amvuradull, aku memilih menjauh dari mereka yang bawel luar biasa. Padahal bawelnya untuk mengingatkanku tentang ibadah-ibadah, amanah-amanah, dll. Namun, setan-setan yang mengalir dalam darah ini membisikkan untuk mejauh dari mereka. Saat itu aku pergi jauh-jauh seorang diri, atau mengurung diri di kamar seharian. Seperti pada tulisanku di blog ini yang berjudul Rindu Menyendiri. Dasar cengeng, gumamku. Haha.

Di saat-saat seperti itu atau bahkan saat-saat bahagia pun, sejatinya kita selalu memerlukan hal-hal yang positif untuk meningkatkan kinerja otak dengan pikiran yang positif, hingga kemudian perlakuan kita pun menjadi positif. Sebab, kita hidup bukan untuk mencari mood yang bahagia saja. Kebahagiaan itu bukan tujuan hidup. Kebahagiaan di dunia ini sementara. Tujuan yang seharusnya kita dapat adalah kedamaian. Seperti arti Islam secara harfiyah, yaitu damai, selamat, tunduk dan bersih. 

Agama Islam, agama yang sudah memiliki tujuan yang jelas dari arti namanya, yakni kedamaian, peace. Sebagai muslim, tentu harusnya kita merealisasikan tujuan kita tersebut. Seperti damai untuk tidak mengutak-atikkan syariat Islam ini. Damai untuk tidak kabur dari amanah manusia sebagai khalifah yang baik di muka bumi. Damai untuk tidak lari dari amanah kelompok/organisasi yang menyeru pada kebaikan. Damai untuk tidak mencela orang lain dari belakang ataupun depan umum. Damai untuk tidak merendahkan diri sendiri hingga terpenjara oleh batinnya sendiri.


Damai adalah tujuan kita. Tak melihat sebanyak apapun harta, sebagus apapun rupa, setinggi apapun hasil tes IQ, tes TOEP, tes TOEFL, atau tes-tes lainnya. Kendati semua diniatkan untuk ibadah lillahita'alla, InsyaAllah damai akan didapat. Apalagi jika berjuangnya bersama-sama dengan para positive booster. InsyaAllah berkah dan dapat kedamaian di alam yang abadi. Aamiin 😊


So, who are your positive booster? Yuk, memilih dan jadi orang yang terpilih. 😉 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu