Langsung ke konten utama

Rindu Menyendiri

Hal yang membuatku bingung adalah menangisi ketidaktahuan. Tidak tahu menagisi apa, tetapi hati gelisah mengundang air mengalir dari mata. "Hatimu terlalu lembek," umpat seseorang. Kupikir, semua hati manusia itu sama lembeknya, kok, sama-sama gumpalan darah, bukan? Hehe. Ya, kutahu maksudnya, aku terlalu perasa? Terlalu dalam memikirkan sesuatu tanpa lekas menjalankan apa yang dipikirkan.

Gelisah bermula dari berbagai hal yang tak sejalan dengan hati (keinginan) sendiri. Termasuk berlelah-lelah. Kamu pikir, aku yang suka menulis kalimat motivasi tak pernah hampir menyerah? Salah, aku pun miliki stok yang terbatas. Hampir menyerah kerap kali kurasakan. Ingin kabur, pamit undur diri, berhenti, sering ingin kulontarkan. Nyatanya aku tak bisa berbicaa pada sesiapa tentang hal ini. Aku yang mudah terbawa tekanan saat orang lain curhat, merasa takut juga jika yang kuajak cerita tertular low motivation sepertiku. Ditambah lagi aku malu, malu jika adik-adik di kampusku tahu bahwa aku tak pantas dianggap kuat nan tegar seperti beberapa yang pernah mengucapkannya padaku. Bukan, bukan haus pujian, hanya saja aku tak mau mereka tertular.

Betul aku miliki teman. Banyak yang mau menerima, dan satu yang sering bersama ke mana-mana. Namun, lagi-lagi aku malu untuk berkeluh pada mereka. Aku tetap pada penyendiriku. Hanya bantal, guling, dan seisi kamar yang paling tahu, ya...selain Allah tentunya. Berada di keramaian acap kali membuatku kelimpungan, makin pusing, makin gelisah, makin miliki banyak rasa yang membuncah di jantung hati. Aku tak suka dengan banyaknya orang membicarakan keburukan orang lain. Buruknya, aku ikut mendengarkan bahkan ikut menimpali. Dapatlah sudah dosa seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Aku tak suka terlalu banyak tertawa sampai sakit pipiku, lantas kembali hening dan disodorkan segudang amanah lagi yang tak kuat pundakku memikulnya. Aku tak suka segala yang menghambat keinginan diri untuk ini itu. 

Mungkin mudah saja bagiku untuk kabur dari semua. Meninggalkan apapun yang tak kusuka, selagi mubah hukumnya. Kalau segala yang menghasilkan dosa sudah tentu harus ditinggalkan, namun yang katanya menghasilkan pahala apa harus terus kupertahankan meski lelah? Ya, iya sih, segala yang gak kita suka belum tentu buruk menurut Allah. Termasuk segala amanah ini, belum tentu menurut Allah buruk hanya karena aku tidak suka dan tidak siap. Ya, katakan aku kekanakan. Ya, aku si bungsu yang childish. Ya.

Udara yang diputar oleh baling-baling kipas di depanku membisikkan, "Istighfar!!!"

Sedang aku masih pada lemasku. Aku masih lemahku. Aku masih pada diamku. Hanya jari yang membahasakan lelahnya tubuh ini. Namun jika menengok lagi, kutemukan banyak yang lebih runtuh raganya, tidak dengan jiwanya. Begitu pun para orang-prang sholih pendahulu, bukan? Mereka begitu mengorbankan raganya untuk berperang di jalan Allah tanpa menyerahnya. Tanpa ampun mereka terus maju membawa kalimat Allah. Lantas, bagaimana dengan diri? Ah. terlalu banyak alasan mengganjal langkah kaki. 

"Aku ingin menjadi orang biasa saja," kalimat tularan dari orang-orang sekitar. Hufh, tapi...ketika mendengar kata Firdaus-Nya, tak absen diri mengacungkan tangan. Hah, picik sekali diri ini. 

Yeah, bolehkah aku rehat sejenak? Sehari saja. Menjauh dari rutinitas yang memusingkan kepala, melelahkan tenanga dan batin. Bukan aku tak bersyukur, aku hanya ingin menarik busur panah, yang semoga kelak dapat melesat tepat pada titik tujuannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah tujuanku sudah jelas dan tepat? Jika belum, ah looser sekali diri ini.

Mungkin benar hari ini aku hanya butuh rehat sejenak. Menikmati keindahan menyendiri. Bermain kata, minum secangkir susu hangat, membuat kelompok di dalam organisasi (haha amanah lagi). Yeah, aku hanya rindu menyendiri. Meski kata orang, "Dengan bersama saja kita lemah apalagi sendirian." Biar, tak apa. Juga biarlah ketika air mata mengadu ke lantai meski dengan makna entah. Biarkan saja dulu.

Aku dengan diriku


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu