Langsung ke konten utama

Anak Nakal Banyak Akal oleh Rizki Dwi Utami



Judul                : Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990
Pengarang        : Pidi Baiq
Penerbit            : DAR! Mizan
Tahun Terbit     : 2015
Halaman           : 330, tebal 20,5 cm
ISBN               : 978-602-7870-41-3
            Dilan: Dia Adalah Dilanku 1990 adalah novel karangan penulis multitalenta bernama Pidi Baiq. Lelaki pemilik pemikiran unik ini lahir di Bandung, 8 Agustus 1972. Multitalenta yang ia miliki selain menulis adalah sebagai seorang musisi dan pencipta lagu, ilustrator, pengajar dan komikus. Pemikiran yang uniknya membuatnya mengaku-ngaku sebagai imigran dari Surga yang diselundupkan oleh ayahnya ke bumi di kamar pengantin. Ada-ada saja memang, namun dari situ lah dapat dipastikan bahasa-bahasa uniknya menempel pada novel Dilan ini dengan apik dan menggemaskan.
            Novel ini bercerita tentang seorang remaja lelaki yang juga bergabung dalam geng motor berandal bernama Dilan. Anak yang terkenal nakal seantereo sekolahnya. Mengaku-ngaku paling dicintai guru BP karena sering bertemu, tidak dengan siswa lain yang tidak pernah diminta bertemu guru BP, katanya. Meskipun sangat nakal, tetapi ia bukan tipe lelaki playboy. Malah ia cenderung cuek dengan perempuan. Namun, itu berubah semenjak kehadiran siswi baru di sekolahnya yang bernama Milea Adnan Husein. Dilan mengupayakan segala hal yang tak biasa untuk pendekatan ke Milea. Berlagak seperti peramal, datang ke rumah Milea tiba-tiba, memberikan coklat melalui tukang POS, membawa Bi Asih (tukang pijat) untuk memijiti Milea yang sedang sakit, memberi kado ulang tahun berupa buku Teka-Teki Silang, dan akal-akalannya mencoret semua daftar nama lelaki yang menyukai Milea kecuali namanya sendiri.
Salah satu kalimat ramalannya adalah seperti ini, “Aku ramal, nanti kita bertemu di kantin,” ucap Dilan. Gak cukup di bagian meramal-ramal saja, ke-gendeng-an Dilan ini terbaca saat ia memberikan hadiah TTS yang sudah diisi semua, katanya ia tak mau kalau Milea pusing menjawabnya. Ada-ada saja. Tidak dengan Nandan—ketua kelas Biologi, kelasnya Milea—yang biasa saja, memberikan hadiah boneka beruang hanya agar bonekanya bisa dipeluk Milea saat tidur. Klise, kalau kata anak sekarang, ‘B ajah’.
Mungkin kita berpikiran bahwa Dilan adalah anak yang bodoh karena kenakalannya, tetapi ternyata tidak. Tetangga kelas Milea ini adalah siswa kelas 2 SMA jurusan Fisika yang selalu mendapatkan rangking 1 atau 2 di kelasnya. Pernah mengikuti lomba cerdas cermat juga di TVRI, meskipun jawabannya malah membuat penonton dan juri tertawa. Nyatanya, kecerdasannya memang bukan pada soal-soal cerdas cermat ini. Berbeda jika membuat karya puisi, ia jagonya, bisa dimuat di koran adalah buktinya. Segala kekonyolan yang dibuat Dilan dan kecerdasannya inilah yang berangsur menggelayuti pikiran Milea. Meskipun Milea sudah punya pacar bernama Beni di Jakarta, tapi di Bandung pikirannya berangsur dipenuhi oleh Dilan. Bukan karena Milea yang playgirl, melainkan memang Beni juga tempramental, sangat berbeda dengan Dilan yang lebih santai dan menyenangkan.
            Setiap pekan Milea diajar les oleh mahasiswa ITB yang akrab dipanggil Kang Adi. Suatu waktu, Milea diajak Kang Adi bertemu teman-temannya di kampus dengan embel-embel memperkenalkan kampusnya juga ke Milea. Padahal Milea sangat enggan, pasalnya takut Dilan cemburu. Sebab Milea dan Dilan sama-sama tahu kalau Kang Adi ini juga menyukai Milea. Dengan berbagai usaha Kang Adi, akhirnya Kang Adi berhasil membawa Milea pergi ke kampusnya. Menanggapi hal itu, Dilan hanya berkata dengan kalimat yang menggemaskan, “Cemburu hanya untuk orang yang tidak percaya diri. Ya, sekarang aku sedang tidak pecaya diri.”
            Begitulah contoh kata-kata yang menggemaskan dari Dilan yang membuat pembaca baper alias terbawa perasaan. Namun, di balik tentang keromantisan dengan bahasa dan gaya-gaya Dilan yang unik, novel ini juga menyiratkan kepada pembaca bahwa senakal-nakalnya anak, itu hanyalah fasenya dalam pencarian jati dirinya. Berbeda di rumahnya, tetap ia berbakti dengan Bundanya, senantiasa mendengarkan Bundanya ketika ingin memarahinya, dan segala kehormatannya pada orangtuanya maupun orang tua yang lain. Ya, meskipun masih dengan cara-cara yang konyol. Sangat senang membaca novel ini karena inilah salah satu kebaikan yang dapat diambil. Ya, bukan malah jurus gombalan lucunya yang ditiru, karena kalau bukan Dilan yang mempraktikkan sudah pasti lelaki yang menawarkan gombalan-gombalan di dalam novel ini akan kena gampar duluan oleh wanita tujuan gombalannya. Mohon hati-hati. Terapkan apa baiknya, buang buruknya.
            Lalu bagaimana hubungan Milea dengan Beni? Apakah dengan membuat Milea selalu memikirkan Dilan menandakan Milea mau dengannya?

            Novel ini sangat ringan untuk dibaca karena banyak percakapan untuk menggambarkan ceritanya. Sehingga memudahkan pembaca yang kurang menyukai cerita dengan narasi yang berbelit-belit. Juga pembaca tidak membutuhkan waktu yang begitu lama untuk membacanya. Bahasa yang digunakan penulis juga bahasa yang santai, sangat mirip dengan keseharian penulisnya yang lucu. Menarik lagi dengan adanya ilustrasi para tokoh di halaman depannya. Sayangnya banyak percakapan yang tidak dimengerti oleh pembaca yang remanjanya tidak berada di angkatan 1990 itu, sebab leluconnya yang berbeda gaya. Meskipun demikian, tidak mengurangi keseruan dan kelucuan isi novel ini untuk dibaca oleh siapapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stop Lazy Time!

Sumpah! Aku bingung mau nulis apa. Nah, itu dia kendalaku. Sering bimbang untuk melakukan sesuatu. Jujur! Aku nulis ini dengan sepenuh hati. Aku tidak sedang memakai topeng untuk menutupi kekurangan ini. Suer! Di tahun yang lalu, aku masih menjadi pelanggan topeng kemunafikkan. Dahulu, orang luar sering memandang potret diri ini dengan berbagai kesan positif. Oh, terima kasih, teman. Tapi, aku cukup waspada bila mereka masuk ke rumahku. Dan akhirnya, terlihatlah belang sifatku. Yang sering membuat seisi rumah jengkel padaku lah, kesal lah, murka lah, dan lah-lah yang lain. Ya, aku pasti menyesal. Batinku pun marah pada diri sendiri. Aku selalu dibuntuti rasa malas, dan ditarik oleh sang ego. Bodohnya, aku mau saja mengikuti ego itu. Selalu melakukan sesuatu 'semau gue', bermimpi sampai lupa waktu, dan perilaku malas lainnya. Uh, malu rasanya diri ini. Hei, tapi aku tidak bermaksud membuka-buka aib, loh. Hanya saja, ceritaku ini bermaksud sebagai intropeksi diriku. Ma...

LRS

(Selasa/22,05,2012) Inilah anggota LRS Bogor Timur dalam satu sekolah. Pada saat itu kami sedang berada di perpustakaan sekolah kami, tepatnya di SMAM Cileungsi. Di sana kami berniat berbagi buku-buku untuk teman-teman yang lain. Apa lagi buku-buku LRS ini kan bagus-bagus tuh , jadi nggak ada salahnya untuk berbagi bacaan ke orang lain. Nah, sebelum beranjak ke kelas masing-masing, kami bergaya dulu, ya... hehe. Tuh lihat, dari sebelah kanan sudah ada Lala, Hartanto, Mbak penjaga perpustakaan, Eeng, dan Rizki. Tapi, ini bukan anggota keseluruhan. Masih ada anggota lain yang berbeda sekolah dengan kami. Yupz, cukup sekian dulu, deh. intinya, kami senang sekali bisa berkumpul di taman membaca, dan dapat berbagi kepada semua. Barokallohufiikum.... ^_^

Cerpen "Sadarlah Sahabatku" Oleh Rizki Dwi Utami

"Aku memang bodoh! Aku sadar itu! Sehingga tidak ada yang mau berteman denganku! Aku tahu kalian semua benci kan sama aku?", suara lantang itu menggebar-geborkan suasana kelas yang awalnya tentram, sejuk dan damai. Kini kondisi berubah menjadi panas, bising dan menggebrakkan detak jantungku. Suasana yang tak diinginkan itu berawal saat syaiton mengusih hati kedua sahabatku untuk saling mempercepat getaran pita suara mereka. Tak kuasa telingaku mendengar pertengkaran itu. Aku pun tak kuat untuk bergeming. "Usro! Seharusnya kamu bisa introfeksi diri! Bukan malah membentak-bentak seperti itu! Kalau itu pendapatmu, itu salah, Sro! Kamu itu nggak sebodoh dengan apa yang kamu kira. Jadi, bukan itu yang menyebabkan kita semua menjauhi kamu. Tolong ya, Sro, pikir baik-baik lagi untuk introfeksi diri kamu! Oke!", akhirnya aku campur tangan menghadapi ulahnya. "Sudahlah, Iyan. Percuma ngomong sama Uso. Dia kan bisanya cuma nangis! Tuh lihat saja matanya sampai ...