Hai, gadis.
Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu.
Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa
yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki
berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal
kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu.
Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang
keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan
kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu
pula.
Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat
teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak
memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun
apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih:
abah dan ibu.
Teruntukmu, yang kerap buatku beku.
Rawamangun, 17 Mei 2017
Rawamangun, 17 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar