Langsung ke konten utama

Berkisah Pada Purnama



Berkisah Pada Purnama

Hampir setahun gue bukan jadi anak sekolahan lagi. Jatuh bagun lalu sedih, itu hal yang sangat biasa, yang luar biasa adalah ketika mau mencoba untuk bangkit lagi, tegap lagi, berjalan membawa hati hingga berlari.
Duh, gue jadi mendadak melankolis nih gegara ngeliat foto temen-temen di galeri hp gue. Betapa bahagianya wajah-wajah itu, tapi sekarang gue gak tau lagi kabar mereka. Padahal gak bisa dipungkiri bahwa gue kangen banget. Setiap mau ketemuan, selalu aja gak jadi.
Eh cuy, malming kumpul, yuk.
Yuk. Ke mana?
Terserah, lu mau ke mana?
Kalo gue sih ikut aja.
Mungkin sampai Shincan jenggotan juga gitu-gitu aja terus chattingan sama temen-temen di grup BBM. Padahal siapa sih yang gak kangen masa perjuangan di bangku sekolah dulu? Saat bersantai, gila-gilaan, sampai lari-larian karena belum ngerjain PR.
Kalau sekarang, berlari di perjuangan hidup yang nyata nih. Gak gampang, sebab ini bukan lagi sekadar menggambar impian di tembok-tembok kamar.
“Realita hidup ini bukan untuk orang manja, dan pura-pura gak berdaya”, sontak gue bilang gitu di depan cermin kalau lagi ngeluh sama semuanya. Hey sob, tapi itu gak semudah ungkapan jari pada keyboard ini! Pas acara perpisahan sekolah pun, gue ngerasa airmata ngalir gitu aja. Pas ngeliat temen-temen memasang senyum bahagia untuk difoto bareng orangtuanya, gue terharu banget, gue inget orangtua gue yang waktu itu gak ada di sisi. Pertanyaan demi pertanyaan terus tercipta, Nanti gue bakal lanjut ke mana?, Apa gue bisa jadi pelita bagi diri sendiri, orangtua, dan orang sekitar?, dan gak luput pertanyaan terpenting, Apakah Allah ridho dengan niat-niat hamba ini?
Ah, polesan make up gue jadi luntur deh waktu itu, gegara airmata  berlari di atas pipi tanpa permisi. Kesal juga berpikir rumit, toh semua belum dijalani. Kita gak pernah tau, kan, gimana nasib kita kalau belum berusaha? Dan inilah, kisah gue yang silih berganti setiap bulannya. Kalau purnama bisa dengar, kayaknya purnama juga gak ada capeknya nunggu gue cerita.
Sebelumnya, sebut aja gue Mawar, dan inilah, saat gue bekisah pada purnama.
***
Bulan pertama seusai UN, gue kerja di toko sekadar untuk ngisi waktu luang. Ini pengalaman kerja yang pertama loh. Capek sih, tapi lumayan bisa belajar dagang. Siapa tau aja kalau udah dewasa nanti gue jadi pengusaha.
Kadang, kalau lagi sepi gue suka mengulas soal-soal tes masuk PTN, atau sekadar baca buku di toko, soalnya gue ngarep banget bisa lulus tes PTN, supaya bisa kuliah gratis dengan bantuan bidikmisi.
Setiap pendaftaran PTN gue coba, dari mulai SNMPTN, SBMPTN, pendaftaran D3, sampai jalur tes mandiri. Ikhtiar belajar sudah, minta restu dan doa orangtua sudah. Namun apa daya, tangan tak sampai meraih kata 'Selamat' di pengumuman hasil tes. Lagi-lagi gue diberi kata 'Maaf' oleh web PTN penyelenggara tes tersebut. Sakitnya tuh di sono (nunjuk hati orang lain aja ya) *tear*
Sempat down, apalagi kalau ngeliat kekecewaan orangtua, tapi gue yakin banget, ini semua bukan kesia-siaan. Kalau ada orang lain yang bilang bahwa ini sia-sia karena otak gue yang gak pantes ikut berbagai tes tersebut, gue anggap itu cuma angin lalu doang. Bagi gue, siapa pun pantas untuk berkompetisi, selagi ada kemauan dan usaha mencoba. Kata 'mencoba' ini bukan dalam artian iseng-iseng, tapi 'mencoba' adalah berani aksi menjemput peluang-peluang yang ada, tapi kalau hasilnya gak memuaskan, mungkin memang Allah belum meridhoi jalan ini, dan harus banyak perbaikan diri lagi.
Singkat cerita, gue gak ada harapan lagi untuk kuliah tahun lalu, sebab kalau kuliah swasta gue harus berpenghasilan dulu. Sedangkan waktu itu gue masih nganggur.
Agustus. Gue males ke mana-mana, semangat gue pudar, males lamar kerja. Gue kalut, tapi kok ya ada kisah cinta yang datang. Awalnya gue nolak mulu, tapi akhirnya luluh juga. Gue khilaf, tapi berlangsung sebulan sih. Berarti, itu bukan sekadar khilaf deh, tapi doyan pada khilaf hehe. Padahal awalnya gue ogah banget untuk punya status relationship, sebelum bisa bahagiain orangtua dengan tergapainya kesuksesan di masa depan. Tapi nyatanya, gue matahin prinsip sendiri. Oh no! Apalagi ini bukan main-main, si doi ngajak nikah, Bro! Kalau dipikir ulang, gue bisa apa ngurus rumah tangga? Ngurus diri sendiri aja belum becus.
Sampai akhirnya gue disadarin sama omelan sahabat gue, "Untuk apa selama ini Mbak bolak-balik ke sekolah hanya untuk daftar kuliah kalau akhirnya Mbak mau nikah muda? Mbak ini masih kecil, ibaratnya masih seperti jantungnya pisang, Mbak pasti belum sanggup dengan kompleksnya masalah berumah tangga. Please, Mbak, kejar cita-cita dulu!"
Jleb! Gue langsung bener-bener sadar, gue galau lagi. Apalagi nyatanya mantan gue itu belum dateng ke rumah untuk melamar, dan gue pun belum cerita ke orangtua. Akhirnya gue cari waktu yang tepat untuk cerita ke orangtua. Setelah terpenuhi, bener aja orangtua gue gak setuju kalau gue nikah muda, meskipun dua tahun lagi, bukan langsung di tahun itu. So pasti, gue remukin hati sendiri, lelaki itu, dan yang paling parahnya menghancurkan hati mama.
Astaghfirullah. Alhasil, gue urungkan rencana nikah muda itu. Biar aja lelaki itu bilang apa. Gue cuma  peduli mama, gue gak mau mama nangis gegara kesalahan gue.
Pertengahan September keadaan batin gue ngambang kayak something di empang. Makin jatuh tapi tak mau, ingin tersenyum tapi terisak. Huehue
Purnama kian berganti, Oktober menampakkan wajahnya lagi. Waktu cepet banget, gue kayak baru bangun dari mimpi buruk yang dulu. Gimana gak? Itu udah Oktober dan gue masih nganggur! Gimana gak greget coba? Akhirnya gue semangat melamar kerja ke mana aaja, dari perusahaan sampai lembaga pendidikan yang berpusat di ibu kota, dan itu pertama kalinya gue pergi ke ibu kota sendirian. Alhamdulillah, gue berani. Sampai November, gue belum juga nerima panggilan kerja. Hufh! Yaudah deh gue keliling sebar lamaran lagi di perusahaan lain dan resto.  Alhamdulillah, yang dinanti-nanti tersampaikan sudah, pertengahan November gue diterima kerja di salah satu perusahaan. Lega, sangat bersyukur, satu target tercapai sudah.
Hei, guys, November pula gue kenalan sama sahabat-sahabat baru. Mereka adalah sahabat dari komunitas dakwah di ibu kota. Alhamdulillah, bersahabat sama mereka bikin hati ini jadi lebih tentram, jauh dari galau. Gue sangat bersyukur bisa ketemu mereka. Mereka yang latar belakangnya berbeda tapi punya satu tujuan menjadi aktivis dakwah, saling mengingatkan, berbagi cerita, tanpa ada kesombongan. Saat itu pun gue sadar bahwa, gue bukan orang yang paling menderita di dunia ini. Di luar sana masih ada yang nasibnya sangat memprihatinkan tapi semangatnya? Gak ada kalahnya, coy!
Kesadaran itu buat gue malu saat ngeluh atas berbagai kesulitan yang gue rasain. Daripada mengeluh lebih baik ciptakan solusi. Alhamdulillah rezeki berdatangan. Februari gue dapat amanah untuk ngajar bimbel. Maret gue beralih kerjaan, bukan lagi jadi buruh pabrik tapi jadi TU keuangan di salah satu SD di Cileungsi. Meskipun tanggung jawabnya lebih besar, tapi fisik gue gak begitu terbebani.
Sekarang gue nikmatin suasana baru, sambil kembali berjuang untuk tes SBMPTN 2015 ini. Semoga gue gak salah ambisi, meskipun sebelumnya gue rahasiain niat gue ini ke ortu karena takut buat mereka kecewa lagi, tapi akhirnya ketauan juga. Di sisi lain, gue menyayangkan diri yang udah berpikir negatif begitu. Seharusnya gue gak perlu mikirin hasilnya duluan, karena tugas gue cuma ikhtiar lalu tawakal.
Bulan Maret berganti nama lagi menjadi April, menandakan bahwa detik masih terus berputar. Hingga kini, gue berusaha untuk terus berpikir postitif, karena telah banyak belajar dari kekecewaan tahun lalu. Ternyata memang ini yang terbaik dari Allah. gue dikasih kesempatan untuk gak langsung terjun ke dunia perkuliahan, agar mental gue bisa ditempa dulu sama realita kehidupan yang kadang bebas dan kadang banyak aturan. Tinggal gue menjalani saat-saat menjadi seperti militer, atau saat-saat bebas mengepakkan sayap kreatifitas.
Semoga adik-adik yang bakal lulus tahun 2015 ini bisa membawa hati yang tenang, gak panik, dan fokus. Tetap tersenyum hadapi semua rintangan, ok? Sebab purnama masih setia menunggu kita untuk berkisah padanya. Mana semangat lo, Sist and Bro? Ini semangat gue!
Salam santun, dari Alumni salah satu sekolah tingkat SLTA di Muhammadiyah Cileungsi. *smile*

***

(NB: Tulisan ini dimuat di Majalah El-Qolam, tanpa pengeditan langsung saya publish di blog saya)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu