Langsung ke konten utama

Stop Lazy Time!

Sumpah! Aku bingung mau nulis apa.
Nah, itu dia kendalaku. Sering bimbang untuk melakukan sesuatu.
Jujur! Aku nulis ini dengan sepenuh hati. Aku tidak sedang memakai topeng untuk menutupi kekurangan ini.
Suer! Di tahun yang lalu, aku masih menjadi pelanggan topeng kemunafikkan.
Dahulu, orang luar sering memandang potret diri ini dengan berbagai kesan positif. Oh, terima kasih, teman.
Tapi, aku cukup waspada bila mereka masuk ke rumahku. Dan akhirnya, terlihatlah belang sifatku. Yang sering membuat seisi rumah jengkel padaku lah, kesal lah, murka lah, dan lah-lah yang lain.
Ya, aku pasti menyesal. Batinku pun marah pada diri sendiri.
Aku selalu dibuntuti rasa malas, dan ditarik oleh sang ego. Bodohnya, aku mau saja mengikuti ego itu. Selalu melakukan sesuatu 'semau gue', bermimpi sampai lupa waktu, dan perilaku malas lainnya.
Uh, malu rasanya diri ini.
Hei, tapi aku tidak bermaksud membuka-buka aib, loh. Hanya saja, ceritaku ini bermaksud sebagai intropeksi diriku.
Makanya di tahun yang baru ini, aku pengin banget menyembuhkan penyakit malasku.
Sulit. Ya, memang sulit kalau dari awalnya sudah dianggap sulit. Aku sudah merasakan hal itu. Apa kau juga pernah merasakannya? Apa? Tidak pernah? Wah, hebat!
Begitu juga sebaliknya, gampang. Ya, bila dari awalnya sudah dianggap gampang.
Ah, itu sudah menjadi pernyataan tidak asing lagi di otak kita! Tapi, kenapa diriku masih sulit menendang ego, ya?
Oh, tidak! Aku harus percaya diri, bahwa aku pasti bisa!
Mulai, sekarang aku tidak ingin memulai kedisiplinan diri yang masih digelendoti rasa ketidak pedean itu!
Aku harus pede, bisa mejadi orang yang disiplin. Sehingga tidak lagi menjadi biang kerok di rumahku. InsyaAllah. {^_^}
Apalagi semua pekerjaan membutuhkan kedisiplinan sebagai prioritas utama, termasuk menulis.
Pede juga sangat berpengaruh pada dunia literasi ini. Bila saja kita tidak pede, pasti kita tidak bisa mendapatkan sesuatu yang kita mau. Seperti memenangkan lomba kepenulisan, atau tulisannya dimuat di berbagai media. Ya iyalah tidak bisa. Bagaimana bisa coba, kalau diri kita sendiri belum pede untuk menyalurkan karya kita?
Ya, memang karya tulisku pun belum ada yang layak menjadi juara ataupun dimuat di media cetak. Tapi, ini belum berakhir, kawan. Ini baru proses. Karena, aku adalah salah satu dari sekian banyak penulis pemula. Penulis handal pun, pasti pernah menjadi pemula dan sering mengalami kegagalan pula.
Maka, aku pun harus pede melangkah dengan kedisiplinan dan tanpa kata malas lagi. InsyaAllah, aamiin. {^_^}
Jatuh itu biasa, namun kembali bangkit itu luar biasa. Kata-kata yang tak asing lagi, bukan? Ya. Kata-kata itu akan menjadi kata kunciku. Supaya aku bisa menendang si ego sampai masuk ke gawang memori silam, tanpa terpental dan kembali ke diriku lagi. Hidupku pasti tambah indah tanpa dihantui si ego lagi. Itulah keinginanku, hidup bebas, tanpa ego. Ya, mudah-mudahan saja. Aamiin. {^_^}
Dan kepedean itu pun, bisa dipraktekkan seperti berani mengendarai motor! Ya, untuk orang yang baru belajar mengendarai motor sepertiku. Yang juga pernah tersungkur sampai dengkulku monyong, akibat kelincahanku berkendara.
Serius! Ini kisah nyataku. Pilihan antara lanjut memberanikan diri mengendarai motor. Ataukan terdiam akibat trauma yang membekaskan luka? Pilihan yang berat bagiku. Yang sampai saat ini masih membuatku terdiam.
Hmm. Kini saatnya aku harus memegang kata kunci di atas. {^_^}
Bila kau bertanya, "Mana nih urutan resolusi, Rizci, dalam tulisan ini?" atau, "Mana nih tips dan trick dari tulisn Rizci ini?"
Aku akan menjawab, "Carilah sendiri jawabannya di selipan kata-kataku pada tulisan ini. Maaf bila kau dibuat bingung olehku. Aku hanya berbagi, kawan."

Salam senyum manis dariku. Dan keep writing!
{^_^}


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kolase Rasa Kamar 03

Hai, gadis. Kali pertama kulihat kelembutan wanitamu, yakni melalui bulir itu. Kau merintih entah apa sembilumu. Kau berkata dalam telepon genggam, entah apa yang diadu. Kuhanya dengar kau ucap lelah. Awan di atas kepalaku gambarkan kaki berlari, lisan teriak, hati retak. Kau, sambut semua di atas bantal kesayanganmu. Genangan itu kau umpatkan dengan membalikkan bantal itu. Namun, maafkan tanganku yang belum sanggup membelai hatimu. Hidup memang keras, namun yang terpenting bukan hati yang keras. Seperti, tak pernah terisak sedu-sedan. Kini kau bayar itu, kau patahkan kekata menusuk dari orang lain. Namun lagi-lagi, isakmu pasti sebab diri sendirimu pula.  Sudahlah, gadis. Dengar saja suara di seberang pesawat teleponmu. Lembut dan gagahnya suara itu, nikmatilah. Pertahankan rasamu. Jarak memang sebuah uji yang membisu, dan kata akan jadi bermakna ketika bertemu. Namun apalah daya, tahan dahulu, sampai waktu merestuimu 'tuk bersua pada yang terkasih: abah dan

Kamu Tidak Normal

“Kamu Tidak Normal” Dwiza Rizqy Gulita mengantarkanku dan teman-teman sejawatku bermain di kebun sekolah. Kami ingin bermain bola kerincing. Kata pak guru, kami akan dikirimkan ke tingkat provinsi jika kami bisa memenangi pertandingan futsal sekabupaten ini. Hebat bukan? Nanti kami akan mendengar lebih banyak lagi teriakan-teriakan dari para supporter kami. Memang sih, mereka akan lama menangkap 'sinyal' pemberitahuan: gawang mana yang dibobol. Biasanya pencetak gol akan bersorak sebagai tanda selebrasinya. Bermacam-macam saja sorakan tiap pemain itu haha. Khusus jika aku yang menjadi pencetak gol, aku akan bersorak, ‘Wuhuuuu satoee aye ayeee,’ karena 1 itu adalah sekolahku, SMA Negeri 01, kami biasa menyebutnya satoe (benar-benar ada huruf ‘o’ dan ‘e’ di penyebutannya). Dengan begitu, penonton dan teman-temanku langsung tahu tim siapa yang yang mencetak gol. Mungkin kalau aku sudah lulus SMA akan ada selebrasi baru lagi dariku hehe. Bagaimana aku bisa tahu kalau a

Rumah Kaca (Serial Anak Kost): Seri Kak Nida

Rumah kaca bercerita tentang air yang terus keluar dari mata seorang gadis yang semula berkaca-kaca. Tetesan yang menceritakan tentang lembaran-lembaran buah pikiran yang tertolak berulang kali. Pun tentang sebuah waktu yang amat sayang dikorbankan untuk mengubah nasib. Beginilah nasibnya, metoda penelitiannya tak sesuai harapan pembimbingnya, meski telah berulang kali ia   mengubah sesuai saran pembimbingnya. Namun, tetap hatinya patah berulang kali di persidangan yang bukan pertaman kalinya. Jalan satu-satunya ia harus mengganti pembimbing, tetapi enam bulan ke depan yang harus ia korbankan dan pertaruhkan.Oh, mahasiswa tingkat akhir yang selalu dinner pakai lauk ayam skripsi.   “Kakak, jangan menangis terus. Ada yang mengintip di luar kaca itu. Apa kau tak malu?” tanya Via pada Nida. “Biarlah. Biar semua tahu betapa sakitnya terus-menerus ditolak seperti ini. Waktuku terkuras terus. Aku lelah berpikir.”   “Iyakah? Tak apalah, Kak. Teruslah semangat berjuang! Belu